Kecerdasan Majemuk Penentu Masa Depan Anak
Kecerdasan majemuk (multi intelegence) terus menjadi topik yang
tak habis-habisnya. Teori dari penelitian panjang Howard Gardner itu,
sejak dipublikasikan pada tahun 1990-an itu terus mendapat sorotan.
Bahkan terus dikembangkan yang konon kini sudah mencapai sekitar 11
jenis kecerdasan yang dimiliki setiap manusia.
Sejauh ini penerapannya dalam sistem pendidikan dan kehidupan keluarga
juga terkesan sekedarnya. Untuk yang di sistem pendidikan masalahnya
jelas karena sulitnya mengubah paradigma dan kebiasaan yang telah
dianut. Sedangkan di dalam pendidikan di rumah mulai banyak diterapkan
sebagai alternatif. Umum diketahui bahwa kecerdasan majemuk tidak
mendapatkan apresiasi selayaknya disekolah. Di lembaga pendidikan formal
ini hanya dua-tiga jenis kecerdasan yang diakui sebagai tolak ukur
keberhasilan atau prestasi siswa. Khususnya kecerdasan yang menyangkut
bahasa, matematika dan logika. Sebagai orangtua masa kini, kita sering
kali menekankan agar anak berprestasi secara akademik di sekolah. Kita
ingin mereka menjadi juara kelas dengan harapan ketika dewasa bisa
memasuki perguruan tinggi bergengsi. Masyarakat pun mempunyai
kepercayaan bahwa sukses di sekolah adalah kunci kesuksesan hidup di
masa depan.
Padahal, kata penulis buku Anak Ajaib Andyda Meliala, kenyataanya tidak
bisa dipungkiri sangat sedikit orang-orang sangat sukses di dunia yang
juara kelas dimasa sekolah. Sebut Bill Gates (pemilik Microsoft) atau
Tiger Wood (Pemain Golf), beberapa dari ribuan orang yang dianggap tidak
berhasil di sekolah tetapi menjadi orang yang sangat berhasil
dibidangnya.
Kandidat doktor ini menyatakan pengembangan kecerdasan majemuk mutlak
diperlukan untuk menjamin masa depan anak. Sukses sekolah semata, kata
dia tidak bisa jadi gantungan. Karena itu ayah dan ibu harus berusaha
maksimal menemukan dan mengembangkan sebanyak mungkin kecerdasan yang
dimiliki setiap anak.
Menurutnya penelitian mutakhir mengenai seluk-beluk otak makin
membukakan mata perihal kecerdasan manusia. Bahwa ternyata, kecerdasan
manusia tidak dapat disimpulkan hanya dari IQ karena nilai tes
kecerdasan, yaitu kecerdasan bahasa dan kecerdasan matematika.
Ibarat Tenda
Belakangan ini, makin banyak penelitian menegaskan bahwa tinggi
rendahnya nilai tes IQ tidak bisa dipakai untuk meramalkan sukses
seseorang ketika dewasa. Tes IQ bukan mengukur kualitas yang dibutuhkan
untuk sukses dalam pekerjaan, seperti kemauan keras, percaya diri,
motivasi maupun kecerdasan sosial.
Tes juga tak mampu mengukur kinerja seseorang dalam menentukan
prioritas, manajemen waktu dan efisiensi. Juga kreatifitas dan intuisi
yang merupakan hal utama dalam ilmu pengetahuan dan seni. “Kreativitas
sering melibatkan kemampuan melihat sejumlah kemungkinan pemecahan atas
satu masalah, sementara tes IQ menharuskan pilihan tunggal”.
Pada kenyataanya, walaupun nilai IQ seorang anak sangat tinggi, lanjut
Andyda, tanpa pengasuhan yang mendukung kecerdasan anak (kurang
stimulus, masalah keluarga, kurang tantangan, tanpa aturan yang jelas,
kurang feedback, dan lain-lain), membuat nilai IQ pada suatu waktu bisa
mengalami penurunan.
Jadi, kalau IQ ataupun prestasi akademik tidak bisa dipakai untuk
meramalkan sukses seorang anak di masa depan, lalu apa? Kemudian apa
yang harus dilakukan orang tua supaya anak-anak mempunyai persiapan
cukup untuk masa depannya?
“Jawabannya adalah prestasi dalam kecerdasan majemuk, bukan hanya
prestasi akademik”, tandas dokter lulusan UGM itu. Menurut ibu Anak
Berbakat Indonesia 2004 itu kemungkinan anak meraih sukses menjadi
sangat besar jika anak dilatih untuk meningkatkan kecerdasan yang punya
berbagai sisi itu. Dia menambahkan membangun seluruh kecerdasan anak
ibarat membangun sebuah tenda yang mempunyai beberapa tongakat sebagai
penyangganya.
“Semakin sama tinggi tongkat-tongkat penyangganya, semakin kokoh pulalah
tenda itu berdiri, ujar istri Edimon Ginting yang berkarir di IMF itu
seraya berujar untuk menjadi sungguh-sungguh cerdas berarti memiliki
skor tinggi pada seluruh jenis kecerdasan. Namun Andyda mengatakan
sangat jarang seseorang memiliki tingkatan yang tinggi di semua bidang
kecerdasan.
Biasanya, tuturnya orang yang benar-benar sukses memiliki kombinasi 4
atau 5 kecerdasan yang menonjol. Dia mencontohkan Albert Einsten,
terkenal jenius di bidang sains, bermain biola dan matematika. Demikian
pula Leonardo Da Vinci yang memiliki kecerdasan luar biasa dalam bidang
olah tubuh, seni, arsitektur, matematika dan fisika.
Syaratkan Keterlibatan Orangtua
Penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik saja tidak cukup bagi
seseorang untuk mengembangkan kecerdasanya secara maksimal. Justru peran
orangtua dalam memberikan latihan-latuhan dan leingkungan yang
mendukung jauh lebih penting dalam menentukan perkembangan kecerdasan
seorang anak. “Para orangtua harus bisa menemukan bakat anak melalui
kecerdasan majemuk, khususnya pada masa emas. Jumlahnya yang mencapai 9
jenis itu adalah, kecerdasan verbal-bahasa, matematika-logika, visual
spasial (imajinasi), musik, interpersonal (bergaul), intrapersonal
(cerdas diri), fisik, lingkungan dan spiritual,” jelasnya.
Masa emas yang dimaksudkan, tambah ibu dua putra yang kini bermukim di
Maryland, As, itu adalah sejak anak lahir sampai 6 tahun dimana pada
usia-usia tersebut sel-sel syaraf otak mereka terbentuk sebesar 80%.
Sementara potensi kemampuan anak berkembang 50% dalam enam tahun pertama
tersebut.
Keterlibatan para orang tua secara aktif dalam mengasah mental dan
stimulus si anak secara tepat sangat diperlukan mengingat mereka adalah
orang yang setiap hari bersama si anak. “Orangtua harus bersikap
proaktif dan bukannya reaktif dalam mempelajari, mengantisipasi dan
me-review aktifitas yang sudah dilakuakan anak-anak mereka”. Aktifitas
tersebut, lanjut Andyda, diharapkan menjadi suatu hal yang menyenangkan.
Aspek menyenangkan penting, ujar perempuan Batak kelahiran Yogya pada
1967 itu, karena ketika si anak merasa enjoy dalam melakukan
aktivitasnya maka otaknya akan berkembang lebih baik. Yang tak kalah
penting adalah membangun harga diri dan citra diri si anak dengan
memberikan tantangan dan komentar yang positif dan bukannya kritik pedas
yang justru membuat si anak menjadi rendah diri dan takut menunjukan
bakat dan talenta yang dimilikinya. “Ditambah dengan aturan dan feedback
(umpan balik) yang membuat si anak merasa aman dan terlindungi, impian
orangtua untuk membuat anak mereka menjadi ajaib bukanlah sekedar
mimpi”, tandas perempuan yang berprofesi sepenuhnya sebagai ibu rumah
tangga ini.
Ia mencontohkan anak lelakinya, Timothy (8 th) yang menunjukkan berbagai
talenta yang banyak membuahkan banyak penghargaan karena penerapan pola
pengasuhan yang melibatkan orangtua secara aktif. Upaya mengembangkan
bakat Timoty di bidang musik sejak 4,5 tahun berbuah penghargaan
internasional pemain piano anak- anak berbakat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar